Oleh : Agus Sjafari *
Terdapat dua fenomena yang sangat mengejutkan mengawali berjalannya tahun 2013 ini. Pertama, Survey Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tentang kinerja menteri – menteri dalam Kabinet Pemerintahan SBY khususnya yang berasal dari partai politik. Dalam survey tersebut menyatakan bahwa sebanyak 57,78 % publik tidak puas dengan kinerja menteri – menteri di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Hanya 34,32 % Publik yang puas dengan kinerja menteri – menteri di kabinet (Metrotvnews.com, 29 Januari 2013). Kedua, Kasus penetapan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq sebagai tersangka karena diduga menerima suap terkait pengurusan daging impor.
Melihat kedua kasus yang sangat mengejutkan tersebut, hulunya tidak lain adalah pemilu 2014 yang akan datang. Benang merah dari kedua kasus tersebut tidak lain adalah bahwa tingkat kepercayaan publik khususnya kepada partai politik akan berada pada titik nadir.
Pemilu 2014 yang akan datang ini dapat dikatakan sebagai pemilu masa transisi demokrasi kedua di era reformasi setelah masa transisi pertama setelah Soeharto mundur dengan tampilnya SBY sebagai Presiden pertama kita yang dipilih oleh rakyat tanpa ada gejolak yang berarti. Setelah SBY tidak bias mencalonkan lagi, maka tahun 2014 yang akan datang merupakan pertaruhan apakah pada tahun itu kita mampu memilih kepala Negara yang demokratis tanpa ada gejolak yang berarti.
Kegaduhan Politik
Semua kalangan telah sepakat bahwa tahun 2013 sekarang ini merupakan tahun politik, dimana semua partai politik sudah siap – siap untuk memanaskan mesin politik untuk berlaga pada pertarungan pemilu 2014 yang akan datang, namun tahun ini pula dapat diyakini akan ditandai pula dengan adanya kegaduhan politik.
Karena SBY sudah tidak bisa lagi untuk berlaga di pemilu 2014 yang akan datang, maka pemilu yang akan datang ini benar – benar akan berangkat dari titik nol. Tidak ada tokoh yang sangat menonjol yang akan bertarung dalam pemilu tersebut, sehingga semua partai politik baik sendiri atau melalui koalisi akan mampu mengalahkan satu dengan lainnya.
Oleh karena itu pada tahun 2013 inilah semua kontestan politik akan berlomba – lomba untuk melakukan investasi politik serta politik lpolitik. Investasi politik yang akan dilakukan oleh kontestan politik menyangkut dua hal, antara lain:
Pertama, partai politik ramai – ramai memperebutkan orang – orang populer untuk membuat daya tarik bagi rakyat. Dengan demikian public figure seperti kalangan artis menjadi sangat laku untuk ditawarkan kepada publik, dikarenakan seorang artis sudah memiliki investasi sosial yang sangat tinggi dimata publik yaitu popularitas. Meskipun popularitas sangat dibutuhkan di era pemilihan langsung tersebut, juga dipertimbangkan tingkat elektabilitas dan profesionalitas dari calon tersebut. Ketika sudah berbicara elektabilitas, beberapa aspek yang menjadi pertimbangan antara lain: kompetensi, etika dan moral, serta ketokohan dari orang tersebut. Hal yang sangat miris apabila calon dari kalangan artis yang dicalonkan adalah orang yang memiliki cacat moral, dengan demikian kondisi tersebut sangat tidak mendidik rakyat untuk melek demokrasi. Meskipun rakyat kita sebagian besar belum cerdas dalam berpolitik, partai politik memiliki kewajiban untuk mencerdaskan rakyat dalam berpolitik.
Kedua, Partai politik saat ini juga berlomba – lomba untuk memperbanyak “pundi – pundinya” guna menggerakkan mesin politiknya. Political cost (biaya politik) dalam pertarungan politik seperti pemilu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Luas wilayah Indonesia yang sangat besar ini sangat membutuhkan biaya politik agar tokoh dan partai politik dapat dikenal dan dipilih oleh rakyat. Hal yang sangat berbeda dibandingkan dengan pertarungan politik apabila dilakukan di Negara-negara Eropah misalnya, dimana wilayahnya tidak terlalu luas dan karakteristik rakyatnya tidak terlalu heterogen, sehingga biaya politiknya tidak sebesar di Negara kita. Hal inimenjadi sebuah tantangan tersendiri bagi partai politik dan tokoh yang akan bertarung dalam kancah politik. Dengan kebutuhan “gizi politik” yang besar tersebut, sangat dimungkinkan agar partai politik untuk berjibaku di dalam memenuhinya agar mampu memenangkan pertarungan. Berbagai cara dapat dilakukan, termasuk juga dengan cara korupsi untuk memenuhi target tersebut. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila beberapa elit politik dan pemerintahan yang kemudian tersandung oleh kasus korupsi.
Kegaduhan politik juga akan ditandai adanya perilaku saling serang dan saling menyandera diantara kekuatan politik yang bertarung. Saat ini sudah dimulai adanya saling membuka aib diantara kekuatan politik. Salah satu contoh kongkrit terkait dengan kegaduhan politik ini dimulai dengan “badai” yang menimpa partai demokrat sebagai the ruling party. Kasus Wisma Atlet dan Hambalang sudah mengorbankan beberapa tokohnya menjadi batu sandungan bagi partai demokrat yang diperkirakan oleh sebagian kalangan sangat berat untuk memenangkan pertarungan pada tahun 2014 yang akan datang. Beberapa partai politik lainnya juga tidak lepas dari kasus yang menjerat beberapa tokohnya.
Pertaruhan Demokrasi
Demokrasi mengajarkan kepada kita untuk berpolitik secara santun dan beretika (high politic). Di samping itu juga di dalam berpolitik yang etis tersebut seorang tokoh harus memiliki kedekatan psikologis dan sosiologis dengan rakyatnya. Demokrasi juga mengajarkan kepada kita agar rakyat dapat menentukan pilihannya secara rasional dengan mempertimbangkan aspek track record yang baik dari elit politik dan partai politiknya.
Tahun 2014 idealnya merupakan tahun pertaruhan demokrasi di Indonesia. Mengapa demikian ?. Kondisi sosial ekonomi masyarakat kita sudah mulai stabil dan kita sudah tidak terlalu dihantui oleh krisis ekonomi. Di samping itu sebagian masyarakat kita sudah mulai “melek politik”. Idealnya dalam pemilu 2014 yang akan datang transisi politik yang ditandai dengan penyerahan tongkat estafet kepemimpinan SBY kepada penerusnya. Bahkan lebih ideal lagi apabila tahun 2014 yang akan datang itu, kita tidak lagi dalam masa transisi politik lagi melainkan sudah masuk dalam periode konsolidasi politik.
Masa transisi politik telah usai ditandai dengan semua perangkat ketatanegaraan sudah tertata selama kurang lebih 15 (lima belas) tahun reformasi ini berjalan. Meskipun belum berjalan secara ideal, namun sistemnya sudah ada, tinggal bagaimana mengoptimalkan fungsi dari susunan ketatanegaraan tersebut baik di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Harapan rakyat bahwa pergantian kepemimpinan nasional pada tahun 2014 berjalan dengan lancar tanpa adanya kegaduhan politik yang besar. Mimpi terindah di tahun 2014 yang akan datang, bahwa Indonesia memiliki pemimpin tranformatif dan visioner yang mampu membawa Indonesia menjadi Negara yang sangat disegani.
Namun apabila ternyata kegaduhan politik yang terjadi tahun ini terus berlanjut sampai dengan tahun 2014 bahkan seterusnya, maka dapat disimpulkan bahwa belum mampu menjadi ruh dalam memajukan Negara ini. Oleh karena itu perlu ada kajian ulang untuk mencari formula sistem terbaik dalam mengelola Negara ini selain demokrasi itu. Selanjutnya demokrasi dikubur jauh – jauh dari bumi Indonesia ini.
Tentang Penulis:
Dr. Agus Sjafari,M.Si Adalah Staf Pengajar FISIP UNTIRTA Serang; Peneliti di The Community Development Institute (CDI)
Sumber: untirta.ac.id